Seni menulis indah menggunakan kuas dan tinta hitam atau yang lebih dikenal dengan istilah kaligrafi sudah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Kaligrafi pertama kali dikembangkan di negeri China. Awalnya kaligrafi mengutamakan keindahan tulisan saja, namun lama-kelamaan mengarah ke sebuah seni. Seni ini lalu diperkenalkan di Jepang pada abad ke 17 bersamaan dengan penyebaran agama Budha dari India menuju Korea, China, dan Jepang, di mana kitab suci Budha sudah ditulis dengan kaligrafi China saat agama tersebut diperkenalkan di Jepang.

Kaligrafi di Jepang disebut shodo, yang berasal dari huruf kanji kaku (menulis) dan michi (cara). Meskipun shodo merupakan kebudayan yang cukup kuno, amun prang Jepang masih mempertahankan kebudayaan itu, terbukti hingga saat ini masih banyak orang yang tertarik untuk mempelajarinya, bahkan di sekolah-sekolah para murid (biasanya murid SD) diajarkan shodo.
Sekilas shodo tampak mudah dibuat, namun orang yang masih pemula akan langsung mengalami kesulitan saat mencobanya, karena banyaknya hal yang harus diperhatikan, mulai dari keseimbangan bentuk tulisan, tarikan garis, tebal-tipisnya garis, hingga irama tulisan.



Keindahan kaligrafi tentunya tidak terlepas dari peralatan yang digunakan. Ada 6 jenis peralatan utama yang biasanya digunakan untuk membuat kaligrafi Jepang. Yang pertama adalah shitajiki, berupa alas untuk menulis. Biasanya alas ini berbahan semacam kain flannel yang permukaannya lembut dan berwarna hitam. Kedua adalah bunchin atau pemberat kertas berbentuk balok yang terbuat dari besi. Peralatan lainnya yaitu kertas untuk menulis. Kertas yang digunakan bukan sembarang kertas, melainkan kertas yang tipis dan ringan, namun tahan lama dan dapat menyerap tinta. Kertas khusus ini dikenal dengan hashi, berupa kertas dengan dua permukaan berbeda, di mana sebelah permukaannya kasar, sedangakan permukaan sebaliknya halus. Bagian inilah yang dipakai saat menulis kaligrafi. Ukuran hanshi umumnya berkisar antara 24 x 32,5 hingga 26 x 35 cm. Selanjutnya adalah perlengkapan yang paling utama dalam pembuatan kaligrafi, yaitu kuas yang dinamakan fude. Ada berbagai macam bentuk fude, mulai dari kecil hingga besar. Fude ukuran besar biasanya digunakan untuk membuat tulisan, sedangkan yang kecil digunakan untuk membubuhkan tanda tangan si pembuat kaligrafi. Batang fude terbuat dari bambu atau kayu pohon, sedangkan bulunya terbuat dari bulu hewan, seperti domba, musang, rakun, rusa, bahkan ekor kuda. Bulu itu kemudian diikat dan ditempelkan pada batang fude. Rapi tidaknya ikatan bulu fude sangat mempengaruhi tekstur tulisan. Tidak hanya fude saja tetapi juga tinta yang dipakai juga mempengaruhi hasil tulisan. Tinta yang dipakai untuk seni kaligrafi bisa berupa tinta botolan, namun agar hasil tulisan lebih maksimal, biasanya digunakan sumi, berupa tinta yang dipadatkan. Cara mencairkan sumi sangatlah mudah, cukup dengan menambahkan air lalu menggosok-gosokannya dalam wadah besi yang disebut suzuri.












Sebelum menulis kaligraf, keenam perlengkapan itu ditata sesuai aturan. Hanshi diletakkan di atas shitajiki, kemudian di bagian atasnya beri pemberat bunchin agar tidak bergeser ataupun tertiup angin. Sedangkan suzuri yang sudah berisi tinta sumi diletakkan di sebelah kanan bersebelahan dengan fude. Kadang-kadang fude juga diletakkan di atas fudeoki, yang mirip seperti balok kecil untuk menyimpan sumpit.
Untuk menulis kaligrafi bahasa Jepang, hal pertama yang harus dikuasai tentunya tulisan Jepang, mengingat urutan penulisan huruf Jepang
tidak sama seperti menulis huruf alphabet. Hal ini sangat penting, karena kesalahan sekecil apapun akan tampak jelas pada hanshi. Selanjutnya adalah tata cara menggunakan fude. Cara memakai fude yang benar adalah menggenggam bagian tengahnya, dan saat mencoretkan tinta pada hanshi, fude diarahkan tegak lurus, pergelangan tangan dan siku tidak boleh menyentuh meja.